Masyarakat kita berada dalam sebuah fase kehidupan di mana di dalamnya penuh dengan pergumulan kepentingan dan harapan. Seluruh energi dan perhatian hampir terkuras habis dengan berbagai macam suguhan-suguhan yang melelahkan jiwa. Bencana alam, konspirasi, korupsi, pemimpin yang saling menjatuhkan, ketidakadilan penegak hukum, dan segudang permasalahan sosial yang masih terus menghantui. Seakan lengkap sudah gambaran kerapuhan tatanan kehidupan bernegara kita. Hingga sebagai sebuah klimaks dari fenomena ini adalah ketika munculnya berbagai pernyataan dari banyak kalangan masyarakat yang menyampaikan keputusasaan mereka. Dari ungkapan mosi tidak percaya kepada pemerintah, hingga apatisme terhadap mereka. Dan mungkin pada ujungnya adalah hilangnya harapan akan sebuah cita-cita besar akan sebuah perbaikan bangsa!
Bagi yang memiliki banyak harapan akan sebuah kebaikan dalam tatanan kehidupan bernegara kita, ini sungguh menjadi renungan besar. Dalam realita, sungguh sangat jelas hilangnya optimisme itu muncul baik secara halus maupun terang-terangan. Buruknya citra para anggota dewan, bahkan gelombang kasus dugaan korupsi yang hinggap di beberapa pundak para pemimpin negeri. Ini adalah anti klimaks dari sebuah cita-cita besar perubahan bangsa kita. Gejolak kepentingan yang ‘sempit’ telah memudarkan berjuta harapan. Segala kontribusi dan amal yang memenara, seakan hancur lebur dan runtuh hanya dengan prasangka.
Di sinilah kita seharusnya menyadari di mana prasangka kini lebih merebak di dalam masyarakat dibandingkan objektivitas itu sendiri. Berkembangnya budaya prasangka ini diprakarsai oleh ‘kebiasaan’ media yang tidak lagi bertindak sebagai Gate of World’s Events yang netral dan objektif memberikan informasi. Opini publik diarahkan dan berkembang berlandaskan pemberitaan yang dilancarkan. Ia menjadi satu dalih bahkan menjadi satu data ilmiah bagi sebagian masyarakat yang mudah terprovokasi. Sayangnya, kondisi ini sangat dimanfaatkan oleh oknum yang berkepentingan untuk menutupi atau bahkan merekayasa seakan-akan apa yang diberitakan itu memiliki tingkat akurasi yang sempurna. Bagi siapa yang menguasai media, maka ia mendapatkan satu senjata ampuh untuk mengarahkan opini masyarakat. Bahkan lebih dari itu, menghegemoni kepentingan pribadi atas nama informasi publik!
Di dalam jurnalistik, kita mengenal salah satu karakter media, yaitu skeptis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ia berarti ragu-ragu atau tidak percaya sehingga ia memunculkan keinginan untuk ingin tahu lebih dan mencarinya dari berbagai sudut pandang. Bagi media manapun ini merupakan satu standar nilai untuk orang-orang yang bekerja di dalamnya. Namun menurut saya, karakter inilah yang seharusnya juga dimiliki oleh seorang ‘penikmat media’. Tidak mudah percaya, dan berkeinginan kuat untuk mengetahui secara holistik informasi yang disampaikan oleh media. Sehingga persepsi yang muncul dari berbagai perspektif, hingga akhirnya kita bisa menarik kesimpulan yang mendekati objektivitas sebenarnya.
Di sisi lain masyarakat kita masih belum siap untuk menetapkan standar nilai. Artinya, sebagai aspek kehidupan yang vital, nilai dan budaya kini bertransformasi menjadi satu hal yang tabu dan tidak memiliki parameter standar yang berimplikasi pada norma yang diyakini. Hal ini disebabkan kita tidak memiliki filter yang bagus dalam menakar baik dan buruknya sesuatu. Dengan kondisi globalisasi yang sudah menggurita, masyarakat semakin terpojokkan dengan nilai-nilai yang berkembang pesat tanpa mereka tahu apakah itu bermanfaat atau tidak bagi mereka dalam jangka panjang. Akibatnya, kini banyak orang telah kehilangan arahan hidup karena samarnya identitas dan nilai yang ia yakini kebenarannya. Kedua, mereka kehilangan model dan acuan dalam menjalani hidup. Terakhir, mereka akan lebih cenderung hidup konsumtif atau lebih bersifat menerima dari pada menggagas sesuatu. Saya kira, sudah banyak contoh yang berkembang di publik terkait dampak dari fenomena ini. Contoh konkrit yang baru-baru ini kita saksikan berupa dekatnya sebagian publik figur dengan narkoba, kasus asusila yang semakin merebak dan buruknya tabiat orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin negeri. Ketika ada pihak yang dianggap baik, kemudian yang tersebar adalah fitnah dan kedengkian. Sedangkan jika ada pihak yang terjerumus, pihak yang lain seakan tersenyum semerbak seakan meyakinkan kepada khalayak bahwa ia memang layak terjerumus.
Kunci untuk menghadirkan musim semi perubahan ini adalah sebuah harapan. Saya kira, banyak dari bangsa kita yang memiliki harapan untuk sebuah perubahan besar namun tidak diberengi dengan usaha dan konsistensi amal. Besarnya harapan bangsa Indonesia tergambarkan di dalam ribuan aspirasi yang senantiasa muncul kepada presiden, gubernur bahkan para anggota dewan perwakilan rakyat. Bahkan ungkapan kekecewaan masyarakat pun, sebenarnya menunjukan besarnya harapan mereka terhadap pemerintah. Tetapi ketika harapan itu tidak dibarengi dengan amal, maka ketika ia tidak terwujudkan maka kekecewaan yang mendalam bagi masyarakat yang hanya berada pada level berharap saja. Sedangkan bagi seorang yang memiliki harapan dan dibarengi dengan amal, maka kekecewaan atas tidak idealnya hasil yang diperoleh itu merupakan anugerah, dan motivasi untuk segera berbenah dan terus melakukan perbaikan.
Inilah ciri dari masyarakat cerdas. Mereka senantiasa bergerak dan menggerakkan. Karena mereka sangat menyadari dengan diamnya orang-orang yang baik dan memiliki karakter untuk melakukan perubahan, maka itu merupakan salah satu cara untuk memenangkan kejahatan.
Oleh: Saif Fathan, Yogyakart
0 thoughts on “Memenangkan Kejahatan”